Info&tanya jawab

Kamis, 11 Juni 2020

Kampung Tani: Catatan Lewo Lamakukung Hari Kemarin dan Hari Ini

Oleh: Adam Che Sangapure

Dawataa adalah kampung kami, kampungnya kaum petani. Di kampung ini kami mempunyai kelompok Wai Doko, sebuah Kelompok Tani atau yang biasa dikenal dengan sebutan "Gemohing" atau "Senure".
Nama Wai Doko diambil untuk memberi gambaran umum tentang kampung kami. "Wai Doko adalah kependekan dari Wakon Ile DOan KOta. Kira-kira dalam bahasa Melayu Indonesia berarti kampung penghabisan di batas bukit, jauh dari riuh rendah Kota," kata Lukas Beda Lema, seorang penggagas Kelompok Tani ini menjelaskan arti Wai Doko beberapa tahun silam.
Yah! Kampung kami ini membujur di atas bukit, jauh dari bibir pantai di jauh dari keramaian kota. Wujud kampung ini tidak tampak dari pandangan mata jika hendak melihatnya dari Waiwerang, Ibu Kota Kecamatan paling ramai di Pulau Adonara ini. Tidak juga tampak dari lautan lepas saat berlayar menggunakan perahu motor dari Waiwerang ke Larantuka, Ibu Kota Kabupaten.
Memang, kampung Dawataa terhalang pandangan. Di sekelilingnya berdiri kokoh nan menjulang pohon kelapa, kemiri, pinang, dan berbagai pepohonan pencakar langit lainnya. Dari atas perahu motor, orang bisa menebak posisi kampung ini jika melihat asap api di sela-sela pohon kelapa, pinang dan lain lain. Hanya itu!
Ketika saya sudah kuliah hingga semester pertengahan pun, jalanan dari kota kecamatan ke kampung kami yang berjarak kurang lebih 6 km ini belum dibentang aspal. Jalan masih susunan bebatuan buah karya Program Padat Karya beberapa puluh tahun silam, aksi gotong royong tiap Sabtu 3 kampung untuk menutup lubang, menyusun lagi batu yang terkikis banjir musim penghujan, menimbun tanah, serta membuat selokan apa adanya.
Saat ke kampung pas lagi liburan, saya bahkan masih mengalami dan menikmati jalan kaki berkilo-kilo ke Terong menunggui oto/bemo/angkudes/angkot untuk pesiar pesiar cuci mata di Pasar Waiwerang hari Senin atau Kamis. Saya pun masih ikut kegiatan bakti timbun tanah di sepanjang jalan Dawataa-Bilal-Terong dengan membawa bekal saat liburan sewaktu masih kuliah di Kupang.
Saya tetap ingat masa-masa kami berlari sekencang-kencangnya untuk mendahului kawan, memastikan sebagai orang yang paling pertama melihat truck penumpang di tengah jalan mau masuk kampung. Kami berlari sekuat tenaga menjemput oto masuk kampung di tengah jalan sambil berteriak: oto .. oto...oto...
Berkali-kali kami tak lelah. Ada rasa bangga seperti sang juara karena paling pertama lihat oto di tengah jalan dari kawan -kawan lain yang sama lari sekencang kencangnya. Meskipun setelah mendapati oto tengah jalan, oto tidak memberi tumpangan untuk kami, kami tidak peduli. Intinya, bisa duluan jemput oto di tengah jalan sebelum sebentar nanti semua orang kampung kecil, besar, tua, muda ke "namang" untuk menonton oto lagi bongkar muat penumpang dan barang bawaan dari pasar.
Oto Sahabat, Pelita, Indah, Harapan Satu, Makmur, Sabar, Scorpio, adalah beberapa nama truck penumpang waktu itu yang kami jemput, kejar dari belakang, maupun antar tengah jalan lagi meskipun kami makan debu jalanan. Sebagai orang kampung, sebagai petani, oto masuk kampung dengan jalanan begitu pada waktu itu adalah suatu kegembiraan tak terkira. Orang tua kami bisa pulang pasar naik oto setelah pagi tadi junjung jualan hasil kebun ke pasar pagi- pagi.
Yah! Kami umumnya anak Petani. Tidak banyak bahkan sampai sekarang bernasip mujur jadi "pegawe", sebutan kami untuk mereka yang bekerja sbg PNS, hingga saat ini baru dua orang yang jadi pegawe. Ayatullah Zakaria, anak dari Zakaria Kadri baru satu atau dua tahun ini menjadi PNS di sekretariat Bawaslu RI di Jakarta. Ada Aminudin Hamzah, berkarya di Kantor Camat Adonara Timur sebagai PNS dari jalur pengangkatan para Sekdes menjadi ASN waktu itu. Baru dua orang saja!
Lainnya? Sebagian besar kami petani. Hanya beberapa saja bekerja di lembaga semi pemerintah, non pemerintah, swasta, guru honor bertahun-tahun, dan sebagian adalah perantau/melarat/na'i Sabah/Tenekene alate.
Sarjana pun belum banyak. Saya termasuk baru sebagai orang ketiga yang diwisuda jadi Sarjana. Setelah Venty "Mahmud" Medhon Lamamayan jadi Sarjana Sosial dan Ilmu Politik, Baharudin Hamzah diwisuda Diploma 3 sebagai Ahli MAdya IPA Biologi, lalu Diwisuda kedua menjadi Sarjana Biologi bahkan sekarang dia sudah diwisuda ketiga kalinya dengan menyandang gelar Magister. Saya orang ketiga menjadi Sarjana. Sarjana Ekonomi. Sayang, saya tidak tahu menahu praktek ilmu berdagang. Setelah saya, kakak perempuan saya Sr. Adelaida, CB diwisuda Sarjana Kesehatan di Manila Philipina dari jalur kaum biarawati.
Setelah kami jadi Sarjana, satu dua anak kampung kami mulai ikut pelan-pelan dari belakang. Sekarang sudah makin menambah barisan kami. Sebagian masih kuliah, sebagian masih PAUD, separuh baru diwisuda PAUD kemarin dulu itu!
Tidak dapat disangkal kalau pikiran tentang sekolah, apalagi kuliah dan bekerja sebagai "pegawe" dari dulu masih terbatas bagi orang tua kami. Boleh jadi karena lingkungan kampung kami membentuk cara pandang demikian.
Tiap hari kami ke kebun. Pergi sebelum mata hari terbit, pulang sebelum mata hari terbit lagi. Besok juga begitu. Hari-hari begitu. Kampung kami sepi berhari-hari. Lebih ramai keseharian di kebun. Menemui orang-orang kami jika siang hari, mesti di kebun. Pak tani ada di kebun, di hutan. Bisa bertemu bila malam bila di atas jam 7. Saat itu dia baru pulang kebun. Pagi-pagi buta saat azan subuh di musollah Al Mujahidin, ia sudah bergegas, siap -siap berangkat ditemani beberapa ekor anjing teman seperjalanannya saban hari". Ia tidak membawa bekal. Ia membawa parang, tombak, busur, anak panah. Biasanya ia akan makan di pondok. Stok makan minum di pondok di kebun selalu saja ada. Air untuk memasak dekat-dekat di kebunnya. Musim kemarau maupun hujan, air tetap ada. Dialiri sambung dengan bambu dari mata air Waidoko.
Beruntung, akses publik sekarang sudah kelihatan terbuka sejak beberapa tahun ini. Jalanan sudah disiram aspal, PLN sudah masuk, jaringan seluler biar timbul tenggelam sudah bisa dipakai, wifi punya desa bisa diakses warga 24 jam. Tapi, hidup kami tetap kebun.
Kami bersekolah, makan minum untuk hidup, kebutuhan sosial, adat, dan budaya, membangun, sebagian besar dari hasil kebun: kemiri, pinang, pisang, ubi jalar, kopra, kopi, labu, pisang, tomat, lombok, jahe, kunyit, langkuas, ile lolon, joba, bayam, kelor, bambu, jewawut. Belakangan ini baru ada mente, cengkeh, pala, vanili, wortel, sawi, jati, mahoni, kangkung cabut, Porang. Usaha pertanian ini lumayan menjanjikan karena dipasok juga air yang cukup. Selain sumber air Witi Koba, Kurang Kenireng juga Wai Doko.
Wai Doko, nama Kelompok Tani ini juga diambil utk mengabadikan nama mata air yang sejak dahulu kala dan sepanjang masa menyanggga dan menghidupi kami tiga kampung (lewo) Lamakukung, Lewotala dan Bahilone. Nama ini diambil untuk Kelompok Tani pun sebagai wahana meng-kampanyekan perlindungan mata air Wai Doko dengan menerapkan praktek-praktek bertani selaras alam. Sustaninable Agriculture.
Kampanye aksi bermula dari mereka-mereka anggota kelompok tani ini. Mereka tidak banyak. Ada sebelasan orang saja. Mereka mereka itu: Kelompok Tani Waidoko, Soron Hode, Ola Ehin, Lamamayan, dengan aktivitas mereka sesehari di kebun secara gemohing/gotong royong, mewakili gambaran tentang kampung kami.
Sayang, kami tidak lagi berlari sekencang-kencangnnya mendahului menjemput Oto Soron Hode di Wai Olok Zaman sudah beda! Rindu lari sekencang-kencangnya.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar