Oleh: Adam Che Sangapure
Dawataa adalah kampung kami, kampungnya kaum petani. Di kampung ini kami mempunyai kelompok Wai Doko, sebuah Kelompok Tani atau yang biasa dikenal dengan sebutan "Gemohing" atau "Senure".
Nama Wai Doko diambil untuk memberi gambaran umum tentang kampung kami. "Wai Doko adalah kependekan dari Wakon Ile DOan KOta. Kira-kira dalam bahasa Melayu Indonesia berarti kampung penghabisan di batas bukit, jauh dari riuh rendah Kota," kata Lukas Beda Lema, seorang penggagas Kelompok Tani ini menjelaskan arti Wai Doko beberapa tahun silam.
Yah! Kampung kami ini membujur di atas bukit, jauh dari bibir pantai di jauh dari keramaian kota. Wujud kampung ini tidak tampak dari pandangan mata jika hendak melihatnya dari Waiwerang, Ibu Kota Kecamatan paling ramai di Pulau Adonara ini. Tidak juga tampak dari lautan lepas saat berlayar menggunakan perahu motor dari Waiwerang ke Larantuka, Ibu Kota Kabupaten.
Memang, kampung Dawataa terhalang pandangan. Di sekelilingnya berdiri kokoh nan menjulang pohon kelapa, kemiri, pinang, dan berbagai pepohonan pencakar langit lainnya. Dari atas perahu motor, orang bisa menebak posisi kampung ini jika melihat asap api di sela-sela pohon kelapa, pinang dan lain lain. Hanya itu!
Ketika saya sudah kuliah hingga semester pertengahan pun, jalanan dari kota kecamatan ke kampung kami yang berjarak kurang lebih 6 km ini belum dibentang aspal. Jalan masih susunan bebatuan buah karya Program Padat Karya beberapa puluh tahun silam, aksi gotong royong tiap Sabtu 3 kampung untuk menutup lubang, menyusun lagi batu yang terkikis banjir musim penghujan, menimbun tanah, serta membuat selokan apa adanya.